This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 09 Desember 2012

Tak Perlu Diet, Kurangi Keju & Mentega Bisa Turunkan Berat Badan




 

Saat berat badan naik, sebagian besar orang kebingungan memilih metode diet yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Padahal sebuah studi baru mengklaim mengurangi asupan lemak saja sudah cukup menurunkan berat badan seseorang tanpa perlu menjalani program diet terlebih dulu.

Mengurangi konsumsi mentega, keju, biskuit, kue dan kripik serta beralih ke susu rendah lemak dan yoghurt dapat membantu seseorang menurunkan berat badannya hingga 1,5 kilogram hanya dalam waktu sedikitnya enam bulan. Bahkan semakin banyak asupan lemak yang dihentikan maka semakin banyak berat badan yang turun.

Studi baru dari University of East Anglia, Inggris ini tak hanya menemukan bahwa mengganti makanan berlemak dengan makanan rendah lemak dapat mengakibatkan penurunan berat badan, tapi juga menghasilkan lingkar pinggang yang lebih langsing, termasuk pengurangan kadar kolesterol jahat.

"Rezim ini menghasilkan penurunan berat badan yang konsisten sedikitnya selama tujuh tahun, bahkan kami telah melihatnya pada hampir semua percobaan. Mereka yang mengurangi lebih banyak lemak, merekalah yang kehilangan berat badan lebih banyak," ungkap ketua tim peneliti Dr Lee Hooper dari Norwich Medical School, University of East Anglia.

Menurut Hooper, efek cara ini pun tidaklah dramatis layaknya diet. Pasalnya studi ini hanya mengamati orang-orang yang mengurangi konsumsi lemaknya saja tapi tidak bertujuan untuk menurunkan berat badan jadi mereka tetap makan makanan dalam jumlah normal.

"Yang mengejutkan kami adalah mereka benar-benar kehilangan berat badan, Indeks Massa Tubuhnya menurun dan lingkar pinggang mereka jadi lebih langsing. Dan yang terpenting, berat badan itu terus stabil hingga sedikitnya selama tujuh tahun," tambahnya seperti dikutip dari Daily Mail, Minggu (9/12/2012).

Kesimpulan itu diperoleh setelah peneliti melakukan 33 percobaan klinis acak yang melibatkan 73.589 orang, baik pria, wanita dan anak-anak dengan berbagai kondisi kesehatan selama enam bulan hingga 8 tahun. Perbandingan pun dibuat antara partisipan yang mengurangi asupan lemaknya dengan partisipan yang tetap mengonsumsi lemak seperti biasanya (mulai dari seperempat hingga separuh kalori harian).

Enam bulan kemudian terlihat penurunan berat badan sebanyak 1,6 kilogram, pengurangan skor BMI dan lingkar pinggang hingga 0,5 cm pada partisipan yang mengurangi asupan lemaknya.

"Kami tidak bermaksud mencari lemak terbaik yang harus dihindari meski kita tahu lemak jenuh dikatakan sebagai lemak yang efeknya paling buruk terhadap kesehatan. Tapi mengurangi asupan lemak jenuh menurunkan risiko penyakit jantung dan stroke kita jadi cara tersehat untuk memotong asupan lemak adalah mengurangi konsumsi lemak jenuh. Dengan kata lain mengonsumsi susu rendah lemak, yoghurt, mengurangi mentega dan keju serta daging," papar Hooper.

Peneliti juga menyarankan untuk mengganti cemilan berlemak seperti biskuit, kue dan kripik dengan buah-buahan saja. "Dan ingatlah, ini bukan diet jadi jangan dilakukan secara ekstrim tapi lebih kepada berpegang teguhlah pada satu pola makan secara permanen. Lagipula mengurangi asupan lemak, terutama lemak jenuh itu sebenarnya hanyalah awal yang baik. Imbangi juga dengan aktif bergerak, tidak merokok atau minum alkohol, makan buah dan sayuran serta minum banyak cairan," pungkasnya.

Sabtu, 08 Desember 2012

Rasa Jijik Memotivasi Perilaku Hindari Infeksi

 
Hal-hal kotor seperti bangkai, makanan basi, dan sebagainya dapat menimbulkan rasa jijik pada seseorang. Perasaan jijik mampu membuat seseorang lebih mengenali hal-hal yang menjijikkan di dekatnya.

Jijik adalah perilaku reaktif dari tubuh yang sifatnya untuk mencegah. Perasaan jijik baik bagi tubuh karena bisa mencegah timbulnya masalah kesehatan yang lebih parah, seperti terjangkit kuman. Sering merasa jijik justru baik buat kesehatan karena dapat memotivasi perilaku untuk menghindari infeksi.

Penelitian baru menunjukkan bahwa perasaan jijik tidak hanya membantu seseorang menghadapi hal-hal yang kotor atau terkontaminasi, tetapi juga membantu Anda menghindari kotoran dengan mempertajam insting untuk mendeteksi keberadaan hal yang menurut Anda menjijikkan di sekitar Anda.

Jika sesuatu terlihat kotor dan menjijikkan, seseorang biasanya menganggap hal itu telah terkontaminasi. Tetapi ketika ada sesuatu yang berwarna putih dan tertata rapi, seseorang pasti selalu menganggap hal tersebut murni dan bersih.

Penelitian telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih menganggap gigi putih, kamar operasi yang berwarna putih, dan perlengkapan mandi porselen yang putih lebih bersih dan tidak terasa menjijikkan seperti kedaan yang sebaliknya.

"Dalam ilmu psikologi yang mempelajari kemurnian, penyimpangan sekecil apa pun dari keadaan yang dianggap murni (putih) dapat menimbulkan persepsi negatif. Seseorang yang memiliki rasa jijik yang tinggi akan lebih mudah menyadari penyimpangan tersebut," kata Gary Sherman, penulis studi dan ilmuwan dari Harvard University’s Kennedy School of Government.

Sherman dan rekan-rekannya menyelidiki hipotesis tersebut dalam tiga studi, untuk membuktikan bahwa ada hubungan interaktif antara jijik dengan kepekaan persepsi yang pada akhirnya dapat membantu seseorang mendeteksi dan menghindari kuman, racun, dan kontaminan lain di sekitarnya.

Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science, seperti dikutip dari health.india,

Kalau Obat Tak Mempan Usir Depresi, Cobalah Terapi Bicara

 

Penderita depresi seringkali kebingungan karena obat-obatan yang dikonsumsinya yaitu antidepresan tak begitu mempan mengatasi kondisinya. Beruntung sebuah studi baru merekomendasikan metode tambahan untuk si pasien yaitu terapi bicara.

Peneliti mengungkapkan bahwa pasien depresi yang tidak kunjung sembuh kendati telah mengonsumsi antidepresan tiga kali lebih mungkin mengalami penurunan gejala depresi jika terapi bicara ditambahkan pada rejimen pengobatannya dibandingkan pasien yang hanya bertahan dengan antidepresan saja.

"Sampai sekarang hanya ada sedikit bukti yang dapat membantu para dokter untuk memilih pengobatan terbaik selanjutnya untuk pasien yang gejala depresinya tidak merespons pengobatan standarnya," ungkap peneliti Nicola Wiles dari Centre for Mental Health, Addiction and Suicide Research, University of Bristol, Inggris.

Studi ini melibatkan 470 pasien depresi yang tidak merespons antidepresan setelah menjalani terapi selama enam minggu. Kemudian sebagian partisipan menerima terapi perilaku kognitif (sejenis terapi bicara) sebagai pelengkap pengobatan antidepresan mereka dan sebagian lagi diminta melanjutkan konsumsi antidepresan tanpa terapi bicara.

Setelah enam bulan, 46 persen pasien yang menjalani terapi bicara mengalami pengurangan gejala depresi sedikitnya sebesar 50 persen. Sebaliknya pada pasien yang hanya mengonsumsi antidepresan pengurangannya hanya 22 persen. Kondisi ini pun terus terjadi hingga mencapai bulan ke-12.

"Sayangnya terapi bicara itu justru lebih sulit diakses daripada obat-obatan. Bahkan mungkin pasien tak mampu membiayai terapi ini kecuali ditanggung oleh asuransi kesehatannya. Tak heran dalam setahun terakhir, tercatat hanya 25 persen pasien depresi asal Amerika yang menerima terapi bicara ini," tandas peneliti.

Namun peneliti menekankan bahwa studi lanjutan masih diperlukan untuk memastikan efektivitas kombinasi terapi ini dalam jangka panjang karena bisa saja pasien mengalami kekambuhan setelah mendapatkan pengobatan itu.

"Lagipula karena beberapa pasien tidak pulih secara substansial meski sudah menjalani terapi bicara, studi lanjutan itu juga diperlukan untuk mencari pengobatan alternatif lainnya," tambah Wiles seperti dikutip dari myhealthnewsdaily,